Jejak Sang Sufi: Hamzah Fansuri dan Syair-syair
Tasawufnya
7
September, 2012
Karya
sastrawan sufi Nusantara belum banyak diteliti dan dikaji. Padahal peranan dan
pengaruh mereka sangat besar bagi perkembangan bahasa, kebudayaan dan sastra
Melayu. Lesunya kajian filologi di Indonesia dewasa ini mungkin merupakan salah
satu penyebabnya. Tak mengherankan sebagian besar karya penulis lama Nusantara,
khususnya penulis sufi, masih berupa naskah dan belum cukup banyak yang dialihaksarakan
serta diterbitkan. Lagi pula selama beberapa puluh tahun belakangan ini,
kebijakan pendidikan kita tidak memberi perhatian serius terhadap pelajaran
sejarah kebudayaan dan tradisi intelektual bangsanya sendiri.
Karya-karya Hamzah Fansuri lebih beruntung.
Hampir semuanya telah dijumpai dalam bentuk transliterasinya. Bahkan
sudah muncul pula beberapa kajian yang cukup luas dan mendalam.[1] Namun masalahnya bukan hanya apakah ada kajian
atau tidak. Selagi ajaran tasawuf sang sufi masih diperdebatkan dengan
sengitnya, selama itu pula peranan dan kedudukannya sebagai tokoh spiritual dan
keagamaan akan tetap diperdebatkan. Begitu pula sumbangannya terhadap bahasa,
kebudayaan dan sastra Melayu.
Tujuan tulisan ini bukanlah untuk
menyulut kembali perdebatan sengit yang telah lama muncul di sekitar pemikiran
tasawufnya.[2] Dengan kesadaran bahwa kepenyairan dan kesufian Hamzah
Fansuri tidak dapat diabaikan, begitu pula peranannya dalam sejarah intelektual dan kerohanian, kami akan coba membahas
segi-segi khusus dari kepenyairannya.
Sebagai
Penyair
Hamzah Fansuri adalah seorang tokoh
intelektual dan kerohanian terkemuka pada zamannya. Dia dilahirkan di tanah
Fansuri atau Barus dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17
M.[3] Sejak akhir abad ke-16 M tanah kelahirannya
masuk ke dalam wilayah ke Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Ali Hasymi (1984),
bersama saudaranya, Ali Fansuri, dia mendirikan sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari
tempat kelahirannya.
Mula-mula Hamzah Fansuri mempelajari
tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh
Abdul Qadir Jailani dan dalam tarekat ini pula dia dibai’at.[4] Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti
Baghdad, Mekkah, Medinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta
mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Ajaran tasawuf yang dikembangkannya
banyak dipengaruhi pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan
Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya banyak
dipengaruhi Fariduddin al-Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman
al-Jami.
Jika
benar Syekh al-Fansuri wafat pada 1630 atau 1636 M, sebagaimana diduga beberapa
sarjana, berarti dia menyaksikan mekarnya Aceh Darussalam sebagai kerajaan
Islam besar di Asia Tenggara di bawah pemerintahan dua rajanya yang masyhur,
Sultan Sayyid al-Mukammil (1590—1603 M) dan Iskandar Muda (1607—1636
M). Ketika itu Aceh Darussalam menjadi pusat penulisan kitab keagamaan,
ilmu pengetahuan dan sastra. Bahasa Melayu memainkan peranan penting
sebagai bahasa komunikasi intelektual mendampingi peranan bahasa
Arab.
Risalah tasawuf Syekh al-Fansuri yang
dijumpai ada tiga, yaitu Syarab
al-`Asyiqin(Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifin (Rahasia
Ahli Makrifat) dan al-Muntahi[5]. Kitabnya Syarab al-`Asyiqin oleh al- Attas (1970) dianggap sebagai karyanya yang
pertama. Di samping itu ia dianggap pula sebagai risalah
keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu baru. Versinya
yang lain diberi judul Zinat
al-Muwahhidin(Perhiasan Ahli Tauhid)[6]. Sedangkan syair-syair tasawufnya yang
dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian[7]. Syair-syairnya dianggap sebagai “syair
Melayu” pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris
dengan pola bunyi akhir a-a-a-a pada setiap barisnya (al-Attas 1968;
Braginsky 1991 dan 1992). Syamsudin al-Sumatrani (w. 1630 M) menyebut
sajak-sajak tersebut sebagai ruba`i, yaitu sajak empat baris dengan dua misra’ (Ali Hasymi 1975) Pada pembacaan pertama terhadap
sajak-sajaknya, akan segera terlihat beberapa ciri yang menonjol,
yang di antaranya kemudian menjadi semacam konvensi sastra atau puisi Melayu
klasik.Pertama, pemakaian penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu,
‘asyiq dan lain-lain, yang kesemuanya
ditransformasikan dari gagasan sufi tentang peringkat rohani (maqam) tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk.
Kedua, banyak petikan ayat al-Qur’an, Hadis, pepatah dan
kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafor,
istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab Persia seperti Bayazid
al-Bisthami, Mansur al-Hallaj, Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali, Ibn
`Arabi, Fariduddin al-`Aththar, Jalaluddin al-Rumi, Fakhrudin `Iraqi dan
lain-lain. Tidak kurang 1200 kata-kata Arab dijumpai dalam 32 ikat-ikatan
syair Hamzah Fansuri (Abdul Hadi W.M. 2001: 219—27). Ini menunjukkan
derasnya proses Islamisasi yang untuk pertama kalinya melanda
bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu pada abad ke-16 M. Maka pantaslah negeri
Aceh menyandang sebutan Serambi Mekah.
Di antara istilah dan ungkapan
dari al-Qur’an dan Hadis yang dijadikan metafor pinjaman, citraan
konseptual dan pusat renungan sufi ialah al-bayt al-ma`mur (Q 52:4) untuk menyebut Ka’bah dan kalbu; qaba qawsayn awadna (53:9) = jarak lingkaran dua busur, menggambarkan
dekatnya Tuhan dengan manusia; ayna-ma tuwallu fa-tsamma wajh Allah
(Q 2:115) = kemana pun kau memandang
akan tampak wajah Allah; kuntu kanzan, dari Hadis Qudsi “Kuntu kanzan makhfiyyan…” = Aku perbendaharan tersembunyi, merujuk pada alam
ketuhanan (`alam
al-lahut) ketika Tuhan hendak melahirkan
ciptaan-Nya.
Ketiga, dalam setiap bait terakhir ikat-ikatan
syairnya sang sufi selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya
didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau kota di
mana dia dibesarkan. Di situ penyair juga mengungkapkan tingkat dan bentuk
pengalaman kerohanian yang diperolehnya di jalan tasawuf. Pada saat yang
sama semua yang diungkapkan penyair dalam sajaknya merupakan
pengalaman pribadinya. Di sini penyair benar-benar menekankan pentingnya
individualitas dalam penciptaan puisi (Teeuw 1994; Abdul Hadi W.M.
2001:136—146).
Keempat, sudah tentu kita jumpai pula tamsil dan
citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan penyair-penyair
sufi Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasan kesufian
mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal,fana’, makrifat, tatanan wujud dan lain-lain. Misalnya
tamsil seperti anggur atau arak kemabukan mistik dan gelas anggur; burung
(roh), ikan yang menyatu dengan lautan, yang merujuk pada persatuan
mistik; kekasih, yang lebih sering disebut Mahbub; lautan dan ombak, kapal atau markab, yang berlayar ke
Bandar Tauhid; bukit rantang atau puncak gunung tempat seorang`asyiq bertemu dengan Kekasihnya; perjalanan malam
menggunakan obor dan suluh (Muhammad), Kaabah, dan lain sebagainya.
Tamsil-tamsil bercorak Arab-Persia ini ditransformasikan ke dalam
lingkungan budaya dan alam kehidupan Melayu. Anggur diubah menjadi
arak dan serbat, gelas anggur diubah menjadi takir (tempat makan dari daun
pisang).
Selain itu terdapat cukup banyak tamsil
yang diambil dari alam kehidupan dan budaya Melayu, seperti kayu, kapur barus,
perahu dengan perlengkapannya. Tamsil atau citraan-citraan simbolik ini
dijadikan sarana untuk menggambarkan pengalaman kesufian penyair di sekitar
maqam (peringkat rohani) dan ahwal (keadaan rohani) yang dicapai seorang
penempuh jalan kerohanian (suluk).
Semua itu menunjukkan luasnya pengetahuan penyair atas sastra Arab dan
Persia, serta keakraban penyair dengan budaya masyarakatnya.
Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (pilihan
kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair Hamzah
Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana
yang tercipta pada saat para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser musik kerohanian yang disertai
dengan zikir, nyanyian dan pembacaan sajak.
Ciri
lain dapat ditambahkan. Sebagaimana puisi penyair sufi pada umumnya,
syair-syair Hamzah Fansuri memadukan metafisika, logika dan
estetika secara seimbang (Nasr 1987:129—30). Ini menunjukkan bahwa
pengetahuan intuitif, rasional dan empiris sama-sama penting perannya dalam
penciptaan puisi. Peringkat makna, yang merupakan dimensi batin sajak,
berkaitan dengan metafisika dan etika sufi.
Dalam peringkat makna inilah pesan moral
dan kerohanian syair diletakkan. Peringkatsurah (bentuk luar), yang merupakan dimensi lahirnya,
mengacu pada estetika sufi. Dalam estetikanya penyair sufi memandang bahwa
citraan yang diambil dari alam indrawi dapat dijadikan sebagai sarana
transendensi, yaitu tangga naik menuju alam kerohanian (pengalaman religius
sufistik). Selanjutnya ungkapan puitik dan citraan-citraan simbolik itu
diuntai dalam urutan yang logis.
Agar gambaran dari ciri-ciri tersebut
jelas di sini akan dikemukakan contoh beberapa bait dari ikat-ikatan syair yang
dimulai dengan baris “Thayr al-`uryan unggas sulthani”. Ikat-ikatan ini menggambarkan jiwa seseorang
yang telah faqir, tak memiliki apa-apa selain kedekatan dengan
dan cinta yang mendalam pada Tuhan. Kata al-thayr artinya burung (kadang-kadang Hamzah Fansuri
menggunakan kata unggas, nuri atau burung pingai). Kata al-`uryan, arti harafiahnya ialah telanjang, maksudnya
jiwa manusia yang tak merasa memiliki apa pun selain keterpautan pada Tuhannya.
Pemakaian tamsil burung bagi jiwa
yang telah mengalami penyucian diri (thadkiya’ al-nafs), pertama-tama seperti dikatakan Braginsky (1993),
diilhami oleh alegori Fariduddin al-`Aththar yang terkenal Mantiq al- Thayr (Musyawarah Burung); yang kedua ialah Hikayat Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah konsep sufi tentang
hakikat kejadian yang sering ditransformasikan secara simbolik dari
cahaya berkilauan dan mutiara menjadi burung pingai, untuk memberi kesan
keindahan dan kepermaiannya yang luar biasa. Gambaran tersebut dijumpai
versi Melayu Hikayat
Kejadian Nur Muhammad (Edwar
Djamaris 1990:112—117).
Pencapaian burung dalam sajak tersebut
dapat disetarakan dengan pencapaian tiga puluh ekor burung dalam Manthiq al-Thayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-Aththar,
yang—setelah melakukan penerbangan jauh dan sukar melalui
tujuh wadi atau lembah (kerohanian)—pada akhirnya berjumpa dengan
Simurgh—raja diraja burung—di puncak bukit Qaf. Simurgh adalah lambang
hakikat ketuhanan dan juga lambang diri rohani manusia. Sedangkan puncak bukit adalah lambang
pencapaian tertinggi di jalan kerohanian, yaitu qurb, kekariban dan kedekatan dengan Tuhan
(Schimmel 198:421).
Berikut
adalah ikat-ikatan XIV (MS Jak. Mal. 83) sebagaimana yang dimaksud:
Thayr
al-`uryan unggas sulthani
Bangsanya nur
al-rahmani
Tasbihnya Allah `Subhani’
Gila dan mabuk akan rabbani
Unggas itu terlalu pingai
Warnanya sempurna bisai
Rumahnya tiada berbidai
Duduknya da’im di balik tirai
Awwalnya bernama ruhi
Millatnya terlalu sufi
Tubuhnya terlalu suci
Mushafnya besar suratnya kufi
Arasy
Allah akan pangkalannya
Habib
Allah akan taulannya
Bayt
Allah akan sangkarannya
Menghadap Tuhan dengan sopannya
Sufinya bukannya kain
Fi
al-Makkah da’im bermain
`Ilmunya zahir dan batin
Menyembah Allah terlalu rajin
Kitab
Allah dipersandangnya
Ghayb
Allah akan tandangnya
`Alam
Lahut akan kandangnya
Pada da’irah
Hu tempat pandangnya
Dzikr
Allah kiri-kanannya
Fikr
Allah rupa badannya
Syurbat
tawhid akan minumannya
Da’im bertemu dengan Tuhannya
Suluhnya terlalu terang
Harinya tiada berpetang
Jalannya terlalu henang
Barang mendapat dia terlalu menang
…
`Ilmunya `ilmu yang pertama
Madzhabnya madzhab ternama
Cahayanya cahaya yang lama
Ke dalam surga bersama-sama
Ingat-ingat hai anak dagang
Nafsumu itu lawan berperang
Anggamu jadikan sarang
Citamu satu jangan bercawang
Siang hari hendaknya kau sha’im
Malam hari yogya kau qa’im
Kurangkan makan lagi dan na’im
Nafi dan itsbat jangan kau padam
Tuhan kita yang (em)punya `alam
Menimbul(kan) Hamzah yang sudah karam
`Isyqi-nya jangan kau padam
Supaya washil dengan laut dalam
(Catatan kata-kata Arab dan Melayu Lama: Nur al-rahmani = Cahaya Yang Rahman;Subhani = Maha Terpuji Aku (Bayazid al-Bisthami); pingai = cemerlang keemasan; bisai = elok, anggun; bidai = tirai penutup pintu dari rotan; da’im = selalu; ruhi = roh; millat = aliran agama; mushhaf = musyaf al-Qur’an; habib Allah = kekasih Tuhan; bayt Allah = rumah Tuhan; Fi al- Makkah = di negeri Mekkah; `Alam lahut = alam ketuhanan;da`irah Hu =lingkaran Dia; syurbat tawhid = minuman tauhid; sha’im = berpuasa;qa’im =
salat, maksudnya salat tahajjud; nafi itsbat = meniadakan dan mengiyakan, merujuk pada kalimat La ilaha illa Allah; `isyqi = cinta ilahi; washil =hampir, menyatu, maksudnya menyatu dengan lautan
hakikat wujud).
Perkataan “Cahayanya cahaya yang lama”
dapat dirujuk pada konsep Nur Muhammad atau haqiqat al-Muhammadiyah, yaitu lambang hakikat sejati diri manusia,
pertama-tama sebagai makhluk kerohanian dan kedua sebagai khalifah Tuhan
di atas bumi dan sekaligus hamba-Nya. Adapun perkataan “ilmunya `ilmu
yang pertama“ dapat dirujuk pada konsep sufi tentang pengetahuan
primordial yang diperoleh manusia ketika masih berupa roh dan belum
diturunkan sebagai makhluk jasmani (Hari Alastu), sebagaimana dinyatakan al-Qur’an 7: 172: “A-lastu bi rabbikum? Qalu bala
syahidna”, artinya “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya,
aku bersaksi.” Ini merupakan pengakuan tauhid yang pertama. Dalam sajaknya
penyair menyebut Tauhid sebagai “suluh yang terang” dan “jalan yang
henang”.
Halangan terbesar dalam mencapai
makna terdalam tauhid ialah hawa nafsu. Oleh sebab itu penyair menyatakan
agar hawa nafsu dijadikan sebagai lawan berperang. Memerangi hawa nafsu disebut
mujahadah atau jihad besar. Cara memeranginya ialah dengan
memperbanyak ibadah dan melakukan penyucian diri di jalan agama.
Tema
pencarian diri dalam syair ini dapat dihubungkan tema yang sama dalam
sajaknya yang lain:
Ketahui hai anak Adam
Engkaulah haqiqat
`alam
‘Isyqi-mu jangan kau padam
Supaya dapat berpayung iram
…
Campurkan yang empat alam
Hancurkan di laut dalam
Syari’at Nabi yang khatam
Kerjakan da’im siang dan malam
“Payung iram” ialah payung kehormatan
raja-raja. Sang Sufi hendak menyatakan bahwa jalan cinta (`isyq) akan membawa seorang ahli suluk mencapai
hakikat dirinya dan dengan demikian mengenal kemuliaan dirinya sebagai hakikat
ciptaan. Ini bisa dirujuk pada pendapat Rumi yang menyatakan bahwa “Cinta
merupakan cara paling tinggi dalam mencapai pengetahuan hakikat, sebab cintalah
yang membawa pencinta menyeberangi keraguan menuju kepastian (haqq al-yaqin) dan menembus rupa lahir menuju hakikat yang batin”
(Reza Arasteh 1984:80).
Empat
alam adalah empat anasir jasmani manusia, yaitu tanah, air,
api dan udara. Di jalan cinta empat unsur jasmani ini dilebur dalam
lautan wujud kerohanian. Dengan demikian ia menjadi bagian utuh dari
kepribadian kita. Menurut para sufi semakin seseorang itu mencintai
Tuhan, maka semakin taat pula dia menjalankan perintah-Nya.
Misalnya sebagaimana dinyatakan sufi abad ke-8 M, Rabi’ah al-Adawiyah,
“Cinta adalah landasan ketaatan kepada Tuhan” ( S. H. Nadeem 1979:18—9).
Memang, cinta dan pencarian diri—dua
gagasan yang saling berkaitan—merupakan tema penting dalam syair-syair
Hamzah Fansuri. Luluhnya diri jasmani (nafsu lahir) ke dalamdiri rohani, merupakan tanda bahwa seorang ahli suluk telah
mengenal hakikat dirinya. Pencapaian semacam itu disebut juga fana’ (hapus), dan sering disamakan dengan persatuan
mistik (unio-mystika), yaitu menetapnya perasaan bersatu seorang
`asyiqterhadap sang Mahbub di dalam batinnya. Hamzah Fansuri
menyatakan dengan ungkapan lain dalam Ikat-ikatan XXVI MS
Jak. Mal. 83:
Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus
Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya laut tiada berarus
Menjadi kapur di dalam barus
Diri jasmani ditamsilkan sebagai batang kayu, kehangusannya
melambangkan kefanaannya, sedangkan kapur (kamfer) yang merupakan substansi kayu barus
melambangkan diri
rohani, hakikat yang tersembunyi di dalam diri jasmani.
Anak Dagang,
Perahu dan Laut
Tamsil anak dagang sangat banyak dijumpai dalam sajak-sajak Hamzah
Fansuri. Ia terutama berfungsi sebagai penanda kepengarangan atau kesufian.
Sebagai penanda ia sering dipertukarkan dengan penanda lain seperti faqir dan anak jamu (orang yang bertamu). Alangkah serasinya apabila
penanda ini dihubungkan dengan citraan simbolik perahu dan kapal serta
laut. Pemakaian tamsil anak dagang dan faqir, diambil dari al-Qur’an dan Hadis. Di samping
itu ia memiliki konteks sejarah, khususnya dengan penyebaran agama
Islam dan pembentukan kebudayaannya di Nusantara.
Sebagaimana
telah diketahui, agama Islam tersebar dan berkembang pesat di Asia
Tenggara bersamaan dengan pesatnya kegiatan perdagangan antar-
pulau dan benua, terutama sejak abad ke-13M setelah berdirinya
kerajaan Samudra Pasai pada 1272 M. Pada mulanya kegiatan
tersebut hanya melibatkan pedagang-pedagang Muslim Arab dan Persia,
tetapi kemudian melibatkan pula banyak pedagang Nusantara yang telah
memeluk agama Islam. Sejak itu berdagang atau merantau jauh dari
kampung halaman untuk melakukan urusan dunia, menjadi “budaya” orang Islam
Nusantara dari Aceh sampai Makassar, dari Banten sampai
Ternate, dari Malaka sampai Madura dan dari Padang dan Kalimantan
sampai pesisir Jawa.
Kata dagang memang berarti merantau dan menjadi orang
asing di sebuah negeri. Ia diterjemahkan dari kata Arab gharib (asing) dan selalu dirujuk pada Hadis, yang
bunyinya, “Kun
fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ‘abiru sabilin wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur” (“Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini, singgahlah sementara dalam perjalananmu,
dan ingatlah akan azhab kubur.”) Dalam syairnya Hamzah Fansuri menulis:
Hadis ini daripada Nabi al-Habib
Qala
kun fi al-dunya ka’annaka gharib
Barang siapa da’im kepada dunia qarib
Manakan dapat menjadi habib
(Ik.
VIII, MS Jak. Mal. 83)
Kekasih Tuhan dipertentangkan dengan
orang yang mencintai dunia secara berlebihan. Dagang atau faqir sejati menurut penyair ialah dia yang karib dengan
Tuhannya dan asing serta tak merasa terpaut pada dunia. Kata gharib, yang oleh penulis Melayu diterjemahkan menjadi dagang, berarti “Orang atau diri yang asing terhadap
dunia” (al-Attas 1971:8), yaitu seorang ahli suluk yang menyadari
bahwa di dunia ini ia adalah orang asing yang pergi merantau dan singgah
sementara untuk mengumpulkan bekal. Kampung halamannya yang sejati bukan di
dunia ini. Imam al-Ghazali dalam Kimiya-i Sa`adah mengatakan: “Dunia ini adalah sebuah pentas atau pasar
yang disinggahi oleh para musafir dalam perjalanannya menuju ke negeri
lain. Di sini mereka membekali diri dengan berbagai bekal agar
supaya tujuan perjalanan tercapai” (Mohammad Bagir 1984:39).
Dalam
kaitan ini Hamzah Fansuri menulis:
Pada dunia nin jangan kau amin
Lenyap pergi seperti angin
Kuntu
kanzan tempat yang batin
Di sana da’im yogya kau sakin
Lemak manis terlalu nyaman
Oleh nafsumu engkau tertawan
Sakarat
al-mawt sukarnya jalan
Lenyap di sana berkawan-kawan
Hidup dalam dunia upama dagang
Datang musim kita ’kan pulang
La
tasta’khiruna sa’atan lagi
kan datang
Mencari ma`rifat Allah jangan alang-alang
(Ik.
XX , MS. Jak. Mal. 83)
Catatan: La tasta’khiruna sa`atan (Q 34:30) = tak dapat ditunda waktunya. Di lihat dari
sudut agama anak
dagang diberi arti positif oleh penyair. Ia
adalah orang yang menyadari secara mendalam bahwa realitas
sebenarnya kehidupan tidak berada di alam fenomena yang
senantiasa berubah, melainkan di dalam Tuhan yang kekal. Tanda anak dagang sejati ialah cinta dan penyerahannya yang penuh kepada
Tuhan, dan keyakinannya yang teguh terhadap ikhtiar dirinya dalam mengatasi
segala kesukaran hidup.
Sama dengan gagasan dagang adalah gagasan faqir. Dalam tasawuf ia diartikan sebagai pribadi yang tidak
lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata pada Tuhan. Ada dua ayat
al-Qur’an yang dijadikan rujukan, yaitu Q 2:268 dan Q 35—15. Dalam Q 2:268,
dinyatakan lebih kurang, “Setan mengancammu dengan ketiadaan milik (al-faqr) dan menyuruhmu melakukan perbuatan keji.
Tetapi Allah menjanjikan ampunan dan karunia kepadamu dari-Nya sendiri dan
Allah mahaluas pengetahuan-Nya.” Adapun dalam Q 35:15 dinyatakan, “Hai
manusia! Kamulah yang memerlukan (fuqara’)
Allah. Sedangkan Allah, Dialah yang maha kaya lagi maha terpuji.” (Yusuf
Ali 1983: 109 dan 1157—8).
Ibn `Arabi, sufi abad ke-12 dari
Andalusia, mengatakan bahwa karena Tuhan mahakaya dan maha-mencukupi (al-ghani), Dia tidak tergantung pada siapa pun. Sebaliknya
manusia yang pada hakikatnya tidak memiliki apa-apa (al-faqr), maka dia memerlukan(fuqara’) Tuhan. Keberadaan manusia, menurut tafsir ayat
ini, tidak pernah bebas dari kewujudan Tuhan. Maka perkataan faqir kemudian diartikan kepada seseorang yang
benar-benar terpaut kepada Tuhan, sebagai ganti dari ketidakterpautannya
pada dunia ( Dar 1977:61).
Mengikuti pengertian ini Hamzah Fansuri
menyatakan bahwa faqir yang sejati ialah Nabi Muhammad s.a.w. Dalam
seluruh aspek kehidupannya beliau benar-benar hanya tergantung
kepada Tuhan. Ini ditunjukkan pada keteguhan imannya. Kata sang penyair:
Rasul Allah itulah yang tiada
berlawan
Meninggalkan tha’am (tamak) sungguh pun makan
‘Uzlat dan tunggal di dalam kawan
Olehnya duduk waktu berjalan
(Ik.
V, MS Jak. Mal. 83)
Perkataan ”`Uzlat dan tunggal di dalam
kawan” dapat ditafsirkan bahwa, walaupun Nabi Muhammad s.a.w. seorang
yang gemar berzuhud, tetapi beliau tidak meninggalkan kewajibannya
dalam kegiatan sosial. Sedangkan perkataan “Olehnya duduk waktu berjalan”
dapat ditafsirkan bahwa walaupun hatinya hanya terpaut
pada Tuhan, beliau tetap aktif mengerjakan urusan dunia dengan penuh
kesungguhan dan pengabdian. Kata “duduk”, yaitu tidak bergerak atau berjalan,
dapat ditafsirkan bahwa keyakinannya kepada Allah s.w.t sangat
teguh. Jika ditafsirkan demikian maka gagasan faqir tidak dapat disamakan dengan asketisme pasif dan
eskapisme.
Dalam
kaitan ini penyair menyatakan dalam syairnya:
Dunia nin jangan kau taruh-taruh
Supaya dekat mahbub yang jauh
Indah sekali akan galuh-galuh
Ke dalam api pergi berlabuh
Hamzah miskin hina dan karam
Bermain mata dengan Rabb al-‘Alam
Selamnya sangat terlalu dalam
Seperti mayat sudah tertanam
(Ik.
II MS Jak. Mal. 83)
Seorang faqir diumpamakan sebagai galuh-galuh, serangga seperti
laron, yang selalu terpikat pada cahaya dan berani mengorbankan dirinya dalam
api karena keinginannya bersatu atau mendekatkan (qurb) diri dengan cahaya. Para penyair sufi tidak
henti-hentinya menggunakan citraan simbolik ini, karena seorang faqir adalah seorang yang berani mengurbankan diri
untuk bersatu dengan Cahaya Yang Satu.
Anak
dagang juga digambarkan sebagai anak mu’alim
yang tahu jalan. Cintanya yang mendalam dan imannya yang teguh, memberinya pula
pengetahuan diri yang mendalam. Hamzah Fansuri menulis:
Kenali dirimu hai anak dagang
Jadikan markab (kapal) tempat berpulang
Kemudi tinggal jangan kau goyang
Supaya dapat dekat kau pulang
Fawq
al-markab (di geladak
kapal) yogya kau jalis(duduk)
Sauhmu da’im baikkan habis
Rubing syari`at yogya kau labis
Supaya jangan markabmu palis
Jika hendak engkau menjeling
sawang
Ingat-ingat akan ujung karang
Jabat kemudi jangan kau mamang
Supaya betul ke bandar kau datang
Anak mu`allim tahu akan jalan
Da’im berjalan di laut nyaman
Markabmu tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan
(Ik.
XVIII, MS Jak. Mal. 83)
Dalam syairnya yang lain (ikat-ikatan
XVII) tamsil anak
dagang diganti anak jamu:
Dengarkan hai anak jamu
Unggas itu sekalian kamu
`Ilmunya yogya kau ramu
Supaya jadi mulia adamu
Selanjutnya dalam ikat-ikatan tersebut anak jamu diumpamakan sebagai unggas yang tinggal dalam kandang syariat dan memiliki
berbagai kelengkapan rohani:
`Ilm
al-yaqin nama `ilmunya
`Ayn
al-yaqin hasil tahunya
Haqq
al-yaqin akan lakunya
Muhammad nabi asal gurunya
Syari`at akan tirainya
Tariqat akan bidainya
Haqiqat akan ripainya (ripinya)
Ma`rifat akan isainya (isinya)
Jelaslah bahwa yang dimaksud faqir oleh penyair bukanlah orang miskin biasa dalam
artian papa dan menderita, serta tak berpengetahuan. Ibn Abu `Ishaq
al-Kalabadhi, sufi abad ke-11 M, dalam bukunya al-Ta`arruf li Madzzhabi ahl
al-Tashawwuf mengatakan, “Ibn
al-Jalla mengatakan, ‘Kefaqiran ialah bahwa tiada sesuatu pun yang menjadi
milikmu, atau jika memang ada sesuatu, itu tidak boleh menjadi milikmu.’
Perkataan ini mengandung arti yang sama dengan firman Tuhan, ‘Sedangkan mereka
lebih mengutamakan kepentingan orang banyak, dibanding semata-mata kepentingan
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesukaran’” (Arberry 1976:118).
Sedangkan Ali Utsman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengatakan dengan mengutip seorang sufi, “Laysa al-faqr man khala min al-zad,
inna-ma alfaqr man khala min al-murad,
yakni “Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang
pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah.” Dia juga mengutip Syekh Ruwaym, “Min na`t al-faqr hifzzhu sirrihi wa
syanatu nafsihi wa ada’u fazi dhatihi’,yakni “Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari
kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap
melaksanakan kewajiban agama.”
(Nicholson 1982:35).
Dalam ikat-ikatan XIX Hamzah Fansuri
menggambarkan bahwa seorangfaqir merupakan
pribadi yang elok sebab telah memfanakan seluruh potensi dirinya (akal,
rasa, diri jasmani, nyawa) ke dalam tujuan spiritual kehidupan.
Sidang faqir empunya kata
Tuhanmu zahir terlalu nyata
Jika sungguh engkau bermata
Lihatlah dirimu rata-rata
…
Kekasihmu zahir terlalu terang
Pada kedua `alam nyata terbentang
Ahl al-Ma`rifa terlalu menang
Washilnya da’im tiada berselang
Hapuskan `aqal dan rasamu
Lenyapkan badan dan nyawamu
Pejamkan hendak kedua matamu
Sana kau lihat permai rupamu
Adamu itu yogya kau serang
Supaya dapat negeri yang henang
Seperti `Ali tatkala perang
Melepas Duldul tiada berkekang
Hamzah miskin orang`uryani
Seperti Isma`il jadi qurbani
Bukannya `Ajami lagi `Arabi
Nentiasa washil dengan Yang Baqi
`Uryan arti harfiahnya ialah telanjang, maksudnya orang
yang hatinya tulus. Dalam bait tersebut Hamzah Fansuri menyamakan faqir dengan pribadi Nabi Ismail a.s. yang sedia
mengurbankan nyawa dan dirinya dalam memenuhi perintah Tuhan. Seorang
faqir adalah pribadi universal yang tidak terikat lagi oleh warna kulit, ras
dan kebangsaan.
Sejak
lama telah muncul anggapan luas bahwa tasawuf atau tarekat yang diajarkan
Hamzah Fansuri mengabaikan syariat. Namun dalam beberapa bait syairnya
Hamzah Fansuri justru menekankan betapa pentingnya syariat. Sebagai
contoh dalam bait berikut:
Syari`at Muhammad terlalu
`amiq (dalam)
Cahayanya terang di negeri Bayt al-`athiq
Tandanya ghalib sempurna thariq (jalan)
Banyaklah kafir menjadi rafiq (kawan)
Bayt
al-`athiq itulah bernama Ka`bah
`Ibadat di dalamnya tiada berhelah
Tempatnya ma`lum di tanah Mekkah
Akan qiblat Islam menyembah Allah
(Ik.
IV MS Jak. Mal 83)
Dikatakan bahwa syari`at mengandung makna yang dalam dan di dalamnya
membentang jalan yang sempurna menuju Tuhan. Bahkan menurut para sufi syari`atitu merupakan jalan besar, sedang tariqat merupakan lorong kecil (Tirmingham 1973, 5).
Pengaruh
Puisi Sufi
Sebagai penyair besar dan pencetus
syair, Hamzah Fansuri tidak hanya mempengaruhi perkembangan sastra Melayu abad
ke-17 dan 18 M, tetapi juga sesudahnya. Syair, sebagai bentuk puisi empat baris
berpola bunyi akhir a-a-a-a, sangat digemari oleh penulis Nusantara
sampai abad ke-20. Penanda kepenyairan faqir, dagang dan sejenis juga berkembang menjadi konvensi sastra
Melayu. Bahkan penanda ini tidak hanya dipakai dalam penulisan syair tasawuf
dan keagamaan, tetapi juga dalam syair hikayat, kisah pelipur lara dan
penulisan karya bercorak sejarah. Sebagai contoh ialah bagian
permulaan Syair
Perang Makassar, yang ditulis oleh
Encik Amin pada akhir abad ke-17 seusai perang tersebut:
Mohonkan ampun gharib yang faqir
Menyatakan asma di dalam syair
Maka patik pun berbuat sindir
Kepada negeri asing supaya lahir
(Skinner
1963:26—7)
Tetapi berbeda dengan penggunaannya
dalam syair-syair Hamzah Fansuri yang memperlihatkan kepercayaan diri yang kuat
dan penuh percaya diri, dalam syair-syair sesudahnya penggunaan tersebut
cenderung disertai nada iba dan getir, serta rasa kurang percaya diri (Koster
1993:93). Misalnya dalam Syair
Negeri Mekah dan Medina (anonim):
Amma
ba`du inilah nazam
Tiadalah faqir berpanjang kalam
Hati yang safi menjadi kelam
Sebab bercinta siang dan malam
…
Inilah nazam faqir yang gharib
Dalam percintaan dibawa nasib
(Ibid 95).
Nada mengiba juga terlihat dalam
bait-bait permulaan Syair
Dagang, karangan seorang penulis abad
ke-17 yang berasal dari Minangkabau:
Kita di dunia hendaklah jaga
Inilah negeri tempat berniaga
Carilah dagangan yang banyak harga
Barang yang laku di negeri surga
Seperti dagang kita di dunya
Utang piutang miskin dan kaya
Tatkala di akhirat negeri yang kaya
Di sinilah tempat menerima dia
Sementara nyawa belumlah
hilang
Carilah dagangan jangan kepalang
Itulah mudik dibawa pulang
Ke dalam akhirat negeri yang tenang
(Abdul
Hadi W.M. 2001:182)
Bandingkan
bait-bait dalam syair Hamzah Fansuri yang menunjukkan kepercayaan diri
yang besar dari penulisnya:
Hamzah Fansuri anak dagang
Da’im bersuhbat dengan hulubalang
Penuh dan pepak tahu berperang
Barang kerjanya jangan kau larang
(Ik.
XXIX, MS Jak. Mal. 83)
Perubahan nada pada pengucapan penanda anak dagangmemperlihatkan adanya pergeseran peranan pengarang
atau penyair pada akhir abad ke-17 M, khususnya sejak para sufi mengalami
tekanan karena ajaran mereka dianggap berseberangan dengan faham para fuqaha’ (ahli fiqih). Pada masa Hamzah Fansuri seorang penulis
dan ahli tasawuf memiliki kebebasan cukup besar, sebab bisa menjadi pemimpin
yang mandiri dalam lingkungan masyarakat luas. Tetapi sesudah itu para penulis
Melayu tergantung kepada para pelindungnya, raja atau bangsawan. Dengan adanya
perubahan itu pula maka penekanan terhadap individualitas dalam penulisan karya
sastra, sebagaimana telah dirintis Hamzah Fansuri pada abad ke-16 dan
murid-muridnya pada abad ke-17 M, menjadi berkurang. Hal ini kentara dengan
jarangnya penyair Melayu pada abad ke-18 mencantumkan nama diri dan takhallus-nya dalam syair-syair yang mereka karang.
Namun pengaruh jejak kepenyairan Hamzah
Fansuri berlanjut hingga abad ke-20, khususnya pada beberapa karya penyair
Pujangga Baru seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Dengan munculnya kedua penyair
ini individualitas kembali ditekankan, sebab bagi Pujangga Baru “Mengarang
adalah mengungkapkan gerakan sukma” (Teeuw 1994). Meskipun tidak semua
sajak Sanusi Pane memiliki afinitas dengan karya penyair Melayu klasik,
namun sajaknya ”Dibawa Gelombang” (Madah Kelana, hlm. 16) akan mengingatkan pembaca pada syair Hamzah
Fansuri yang juga menggunakan tamsil perahu:
Alun membawa bidukku pelahan
Dalam kesunyian malam waktu
Tidak berpawang tidak berkawan
Entah kemana aku tak tahu
Jauh di atas bintang kemilau
Seperti sudah berabad-abad
Dengan damai mereka meninjau
Kehidupan bumi yang kecil amat
Aku bernyanyi dengan suara
Seperti bisikan angin di daun
Suaraku hilang dalam udara
Dalam laut yang beralun-alun
Memang
pola bunyi akhir sajak tersebut a-b-a-b seperti pantun, namun puitikanya
adalah puitika syair. Bandingkan dengan bait-bait syair Hamzah Fansuri yang
menggunakan tamsil perahu:
Jika hendak engkau menjeling sawang
Ingat-ingat akan ujung karang
Jabat kemudi jangan kau mamang
Supaya betul ke bandar datang
Anak mu`allim tahu akan jalan
Da’im berlayar di laut nyaman
Markabmu tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan
(Ik.
XVIII MS, Jak. Mal. 83)
Lebih
menonjol lagi, tentu saja pengaruh puisi sufi Melayu terhadap Amir
Hamzah, terutama tamsil-tamsil dan estetika sufistiknya. Di sini akan
ditunjukkan salah satu contoh syair Melayu yang menggunakan citraan simbolik
wayang karangan penyair abad ke-17 Abdul Jamal dan membandingkannya dengan
sajak “Sebab Dikau” karangan penyair abad ke-20 Amir Hamzah. Abdul Jamal, murid
Hamzah Fansuri yang tarkemuka, menulis:
Wahdatitulah bernama bayang-bayang
Di sana nyata wayang dan dalang
Mahbub-nya lingkup pada sekalian padang
Musyahadahdi sana jangan kepalang
(Doorenbos
1933:71)
Dalam
”Sebab Dikau” Amir Hamzah juga menulis dengan tamsil yang mirip:
Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut menurut
Dua suka esa–mesra–
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang
(Teeuw
1979:99)
Dari
uraian yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa Hamzah Fansuri adalah
penyair Melayu klasik yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan puisi
Melayu dan besar pula jasanya bagi pertumbuhan bahasa serta kebudayaan
Melayu.
Abdul
Hadi W.M. adalah
penyair dan pengajar di Program Studi Falsafah dan Agama Universitas
Paramadina, Jakarta. Buku puisinya antara lain Tergantung pada Angin
(1982) dan Madura, Luang Prabhang (2006), sementara buku esainya, antara lain,Tasawuf yang Tertindas (2001) dan Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra
Profetik dan Sufistik(1999).
*Makalah
ini dibentangkan dalam Siri Kuliah Umum “Islam dan Mistisisme Nusantara” di
Komunitas Salihara, 21 Julai 2012. Diterbitkan dengan izin daripada Komunitas
Salihara
bahan diperoleh daripada:
Tiada ulasan:
Catat Ulasan