Karya
sastrawan sufi Nusantara belum banyak diteliti dan dikaji. Padahal peranan dan
pengaruh mereka sangat besar bagi perkembangan bahasa, kebudayaan dan sastra
Melayu. Lesunya kajian filologi di Indonesia dewasa ini mungkin merupakan salah
satu penyebabnya. Tak mengherankan sebagian besar karya penulis lama Nusantara,
khususnya penulis sufi, masih berupa naskah dan belum cukup banyak yang dialihaksarakan
serta diterbitkan. Lagi pula selama beberapa puluh tahun belakangan ini,
kebijakan pendidikan kita tidak memberi perhatian serius terhadap pelajaran
sejarah kebudayaan dan tradisi intelektual bangsanya sendiri.
Karya-karya Hamzah Fansuri lebih beruntung.
Hampir semuanya telah dijumpai dalam bentuk transliterasinya. Bahkan
sudah muncul pula beberapa kajian yang cukup luas dan mendalam.[1] Namun masalahnya bukan hanya apakah ada kajian
atau tidak. Selagi ajaran tasawuf sang sufi masih diperdebatkan dengan
sengitnya, selama itu pula peranan dan kedudukannya sebagai tokoh spiritual dan
keagamaan akan tetap diperdebatkan. Begitu pula sumbangannya terhadap bahasa,
kebudayaan dan sastra Melayu.
Tujuan tulisan ini bukanlah untuk
menyulut kembali perdebatan sengit yang telah lama muncul di sekitar pemikiran
tasawufnya.[2] Dengan kesadaran bahwa kepenyairan dan kesufian Hamzah
Fansuri tidak dapat diabaikan, begitu pula
peranannya dalam sejarah intelektual dan kerohanian, kami akan coba membahas segi-segi khusus dari kepenyairannya.
peranannya dalam sejarah intelektual dan kerohanian, kami akan coba membahas segi-segi khusus dari kepenyairannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan